Minggu, 17 Maret 2013
Allah Bersamaku, Allah Memandangku, Allah Menyaksikanku
Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi ra menuturkan:
Sejak berusia tiga tahun, aku telah melakukan shalat malam.
Suatu hari kuperhatikan bagaimana pamanku Muhammad bin Sawwar melakukan shalat.
Selepas shalat, beliau berkata kepadaku, “Apakah kau tidak berdzikir kepada
Allah yang telah menciptakanmu?”
“Bagaimana cara berdzikir kepada-Nya?” tanyaku
“Ketika kau kenakan pakaianmu, ucapkanlah kalimat di bawah
ini dalam hatimu tanpa menggerakkan lisan sebanyak tiga kali:
Allahu ma’ii, Allahu naa dzirun ilayyi, Allahu syaahidii
‘Allah bersamaku, Allah memandangku, Allah menyaksiakanku’
Setelah beberapa hari kuamalkan dzikir itu, pamanku berkata,
“Bacalah dzikir tersebut sebanyak tujuh kali setiap malam.” Anjuran beliau ini
pun kulakukan. Beberapa hari kemudian beliau berkata, “Bacalah dzikir itu
setiap malam sebanyak sebelas kali.”
Setiap malam kubaca dzikir tersebut sebanyak sebelas kali,
dan hatiku merasa nikmat. Setelah setahun berlalu, pamankku berkata, “Amalkan
dan lakukan secara berkesinambungan apa yang telah kuajarkan kepadamu sampai
kau mati nanti. Kalimat itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat.”
Bertahun-tahun dzikir itu kuamalkan dan kutemukan kenikmatan
dalam hatiku. Suatu ketika pamanku berkata, “Wahai Sahl, barang siapa Allah
bersamanya, memandang dan menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat
kepada-Nya? Wahai Sahl, hati-hati, jangan sampai kau bermaksiat kepada-Nya.”
Hikmah Di Balik Kisah
Sesungguhnya seorang anak dilahirkan dalam keadaan suci.
Rasulullah saw bersabda:
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Pendidikan agama yang diberikan kepada anak sejak dini akan
sangat penting menentukan pertumbuhan jiwanya. Jika sejak dini kita didik
anak-anak untuk mengenal Allah, maka di saat dewasa nanti dia akan menjadi
seorang pemuda yang beriman dan berbudi.
Agar pendidikan tersebut melekat dan tertanam kuat dalam
jiwa, kita harus menggunakan metode yang tepat, yaitu perlahan tapi pasti.
Artinya, sampaikan ilmu tersebut secara bertahap, sedikit demi sedikit,
sehingga anak dapat mengamalkannya secara berkesinambungan. Coba bayangkan,
sejak usia tiga tahun Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi telah diajarkan untuk
shalat malam dan berdzikir kepada Allah. Akhirya dia tumbuh sebagai seorang
ulama besar yang berbudi. Lain halnya dengan kita, karena tidak terbiasa
melakukan shalat malam sejak dini, maka saat ini shalat malam terasa berat
untuk dilakukan.
Sang paman sangat jeli, sejak dini ia ingin menanamkan
sifat ihsan didalam diri keponakannya. Dengan penuh kesabara ia bimbing Shal
bin ‘Abdulllah untuk selalu merasa dilihat, didengar dan diawasi Allah. Beliau
meminta Sahl untuk membaca dzikir itu di dalam hari dan tidak mengucapkannya
dengan lisan, tujuannya adalah agar kalimat dzikir tersebut benar-benar meresap
di dalam sanubari Sahl. Beliau mengajarkan hakikat dzikir. Lain halnya dengan
kita, lisan kita sibuk berdzikir, membaca kalimat rasbih, tahmid, takbir dan
lain sebagainya, tetapi sedikit pun hati kita tidak ikut berdzikir dan tidak
memahami apa yang diucpkan lisan. Kendati demikian, dzikir lisan semacam ini
sudah baik, daripada lisan kita menganggur atau membicarakan hal-hal yang buruk
dan haram
Label:
akhlak para wali,
kisah para wali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar