Rabu, 05 Juni 2013
Majelis Rasulullah
Di dalam Masjid tampak orang-orang duduk melingkar dengan
tenang dan rapi. Tiada sepatah kata ataupun gerakan yang mengusuk keheningan
masjid. Yang terdengar hanyalah suara merdu, lembut, dan penuh cinta yang
menuturkan untaian mutiara tiada tara. Suara yang dirindukkan oleh setiap
pecinta, suara kekasih Allah Al-Musthafa shalallahu
‘alahi wasallam menyampaikan sabda-sabdanya. Mereka semua tenggelam dalam
keheningan menyaksikan keindahan baginda Muhammad shalallahu ‘alahi wa sallam. Setiap orang ingin duduk di dekat
beliau, menatap wajah beliau yang mulia. Kendati demikian, mereka tidak
berdesak-desakkan. Suatu hari, barisan depan majelis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
dipenuhi oleh para sahabat. Beberapa sahabat yang pernah ikut perang Badar
(ahli Badar) tidak mendapatkan tempat duduk. Mereka lantas berdiri di hadapan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menanti
agar diberi tempat oleh sahabat yang lain. Akan tetapi, tidak ada
seorangpun
yang bergerak dari tempat duduknya. Menyaksikan hal ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam segera
memerintahkan beberapa sahabat yang tidak ikut perang Badar – yang saat itu
berada di dekat beliau – untuk berdiri dan memberikan tempatnya kepada para
sahabat ahli Badar. (Lihat Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi, Tafsir Qurthubi, Darul Kutubil ‘Ilmiah, Juz. XVII, hal 192). Kemudian
turunlah wahyu Allah yang berbunyi :“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang deberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah, 58:11)
Demikianlah kedaan majelis Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau menempatkan setiap orang
sesuai dengan kedudukannya. Orang-orang yang memiliki kedudukan di sisi Allah,
berjasa bagi Islam dan muslimin, beliau tempatkan di depan. Begitu pula dengan
orang-orang yang berilmu dan lebih tua. Setelah ayat di atas turun, maka para
sahabat pun suka memberi tempat kepada sahabat yang lain, meneladani Al-Qur’an
dan Sunah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa
sallam.
Dalam kesempatan lain, ketika Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sedang
duduk bersama para sahabatnya di sebuah rumah, tiba-tiba seorang sahabat
bernama Jarir bin ‘Abdullah datang dan berdiri di pintu karena ruangan telah
dipenuhi oleh para sahabat yang hadir lebih awal. Ketika melihat kedatangan
Jarir, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam segera menengok ke kanan dan ke kiri, mencari temapt yang masih
luang untuknya. Ternyata semua tempat telah dipadati oleh para sahabat. Melihat
hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam segera melipat selendang beliau menyerahkannya (melemparkannya)
kepada Jarir dan berkata, “Duduklah di atas selendang itu, wahai Jarir.” Jarir
pun menerima selendang itu, memeluknya dengan penuh cinta dan menciumnya dengan
hangat. Ia tidak kuasa untuk duduk di atas selendang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jarir lalu
mengembalikan selendang itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan berkata, “Semoga Allah
memuliakanmu wahai Rasul, sebagaimana engkau memuliakanku.”
Melihat perlakuan Rasululllah shallallahu ‘alahi wa sallam kepada Jarir tersebut para
sahabat tercegang dan berkata :
“Duhai Rasulullah, hari ini kami melihat engkau
memperlakukan Jarir dengan suatu perlakuan yang sebelumnya tidak pernah engkau
lakukan kepada seorang pun.”
“Benar, Jarir ini adalah tokoh masyarakat,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah itu beliau shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda :
“Jika datang kepada kalian seorang yang mulia dari suatu kaum (pemuka masyarakat), maka mulaiakanlah dia.” (Lihat Al-Hakim An-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘Alash Shahihain, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Juz IV hal 324).
Duhai Rasul, betap mulia akhlakmu, sungguh agung budi
pekertimu. Selendang yang mulia, yang senantiasa melekat di tubuhmu, yang
engkau gunakan ketika shalat, dalam perjalanan bahkan menemanimu dalam jihad,
engkau serahkan kepada Jarir untuk didudukinya?
Sungguh, ini merupakan sebuah penghormatan besar yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam dalam rangka memuliakan setiap orang yang mulia. Rasulullah tidak
kuasa membiarkannya duduk di belakang juga tanpa alas. Ya Allah, limpahkanlha
shalawat dan salam tanpa henti kepada kekasih kami, RasulMu tercinta,
Al-Musthafa shallallahu ‘alahi wa sallam.
Betapa senang hati kita saat orang yang kita hormati,
pemimpin yang kita junjung kemudian melayani kita, bahkan memberikan sorbannya
sebagai alas duduk kita. Begitulah akhlak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Sebagai pemimpin ia ingin
menyenangkan dan melayani bawahannya. Sudahkah kita meniru akhlak Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam yang mulai
ini?
Dalam kisah di atas sangat banyak pelajaran yang dapat kita
petik. Saat ini keberkahan majelis ilmu seringkali sirna karena tidak mencontoh
dan meneladani tata cara majelis ilmu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Agar majis ilmu menjadi berkah dan
bermanfaat, setiap orang hendkanya menjaga adab. Jika dia seseoran yang
berilmu, tokoh masyarakat, orang tua, maka hendaknya ia didudukan di barisan
depan. Sedangkan anak-anak dan kaum remaja hendaknya menempati posisi yang
lebih di belakang. Kemudian jik ada seseorang yang memiliki kedudukan, baik itu
ulama ataupun lainnya, datang terlambat karena sebuah keperluan, bukan karena
disengaja, maka hendaknya ia diberi temapt sesuai dengan kedudukannya. Selain tiu
yang tidak kalah penting dan sangat berpengaruh tergadap keberkahan majelis
adalah ketenangan di dalam majelis dan tidak berdesak-desakkna. Setiap orang
hendaknya mencari posisi duduk yang nyaman, mengarahkan pandangan kepada
pimpinan majlis, diam, tidak berbicara ataupun melakukan suatu kegiatan yang
dapat menimbulkan suara yang dapat mengganggu ketenangan majelis.
dikutip dari buku Akhlak Nabi karya Habib Naufal Alaydrus
cetakan I , Januari 2013
Label:
ilmu islami,
kumpulan ilmu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar